Just another WordPress.com site

Dunia politik berbeda dengan dunia kesenian, keduanya memiliki aturan tersendiri. Tetapi bila politik berhasil menyelinap ke kesenian, maka jangan tanya bila terjadi penyimpangan. Begitulah yang terjadi di Rusia pada tahun 1917-an, juga di Indonesia pada tahun 1950-an. Sebelum eksesnya sampai ke Indonesia, revolusi di Rusia, dengan tangan kekuasaannya telah menunggangi segala otonomi berbagai aspek yang ada di dalam masyarakat. Atas dasar kemajuan, masyarakat yang sejahtera, di negeri sosialis itu, ucapan seorang Stalin yang dikultus harus didengar dan tak terbantah.

Memang tak dapat dimungkiri jika konsep realisme sebenarnya rentan oleh kepentingan-kepentingan politik. Tetapi apa boleh buat, di masa tersebut, tak ada wilayah mana pun yang tak tersentuh politik. Begitu pun di Indonesia pada masa demokrasi terpimpin, ketika presiden Soekarno menganggap Manikebu sebagai kontrarevolusioner. Namun kemudian, Goenawan Mohamad mencoba meluruskan hal itu, bahwa apa yang diusung oleh humanisme universal sebenarnya menyimpan suatu semangat untuk memihak. Jadi bukan untuk ”mengaburkan sasaran perlawanan”.

Konflik-konflik yang berkembang saat itu tiada lain karena anggapan masing-masing rumusan adalah yang paling benar. Sekalipun Manikebu beralasan bahwa dunia itu bukan sorga dan mengakui adanya keterbatasan, tetapi di situ terkandung juga suatu manifesto yang disodorkan ke publik sebagai pernyataan sikap. Apalagi ditambah dengan rumusannya Lekra yang begitu kontradiktif dengan Manikebu. Perseteruan di antara kedua kubu itu bersifat politis. Melalui Lekra, Pram gencar menyerang Manikebu, terutama Jassin yang dianggapnya sebagai biang propaganda humanisme universal yang menurutnya melempem, gentar dan terhadap revolusi yang tengah berlangsung.

Tetapi ada baiknya, sedikit kita apungkan pengertian ”politik” yang nyatanya jamak, tidak mengandung ketunggalan makna. Menurut Lukacs, yang dimaksud ”politik” dari Gottfried Keller ketika mengomentari seni realis ialah ”tindakan, pikiran, dan emosi manusia yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan dan perjuangan komunitas”. Sementara itu, Joebaar Ajoeb, sekertaris umum Lekra, mengatakan lain. Ia mengartikan bahwa kata ”politik” yang terselip dalam semboyan ”Politik adalah Panglima”, diartikan sebagai ”wawasan, bukan lembaga atau orang, apapun ia.” Barangkali tanpa menilik dengan teliti, kadangkala timbul syak wasangka yang berujung pada kesalahpahaman. Dan yang perlu kita tahu bahwa tak ada satu pengertian yang definitif mengenai politik.

Seni untuk masyrakat

Dengan keterbatasan bahan bacaan kala itu, banyak di antara pengarang-pengarang Lekra yang gandung kepada realisme sosialis. Kedua bentuk terminologi yang digabung itu, realisme dan sosialis, lahir karena kecenderungan budaya kapitalis. Realisme yang pada awal saya katakan, rentan oleh kekuasaan, pada waktu itu berbeda dari konsep realisme klasik yang mendasarinya. Kembali pada uraian Lukacs, teori realisme klasik itu berlatar pada kesanggupan daya akal budi menangkap realitas sebagaimana adanya. Lalu Pram membagi realisme menjadi dua: realisme-Barat atau borjuis dan realisme sosialis.

Menurut Pram, realisme-Barat, memiliki kecenderungan yang dengan realitas melawan realitas itu sendiri agar memenangkan idealisme. Sebaliknya realisme sosialis yang diagungkannya itu, menempatkan realitas sebagai bahan-bahan untuk menyempurnakan pemikiran dialektik. Pada titik ini, kalau kita meneruskan gagasan kedua aliran ini, maka kita sampai pada persoalan ”seni untuk seni” dan ”seni untuk masyarakat.” Plekhanov, seorang Marxis dari Rusia, punya pikiran yang menarik dalam kasus ini. Ia merumuskan pertanyaan demikian:

”Dalam keadaan-keadaan sosial paling mendasar bagaimanakah para seniman dan orang-orang yang sangat berminat pada seni beranggapan dan dirasuki oleh keyakinan akan seni untuk seni?”

Untuk menjawab pertanyaan itu, Plekhanov mengisahkan tentang Pushkin yang pada saat tertentu memercayai teori seni untuk seni. Ada suatu hal yang mendasari perubahan sikapnya itu: keluhan terhadap jerat kekuasaan. Pada tahun 1826, ia ditekan oleh kaisar Nikolas I dengan tangan kanannya, Benkedorf, seorang polisi. Selama sisa hidupnya itu, ia menulis di bawah kendali. Tetapi pada akhirnya, kaisar pun insaf. Ia menyadari kekeliruannya. Ia kemudian menghormati Pushkin bukan untuk hal-hal besar yang pernah ditulisnya semasa hidupnya yang pendek, melainkan apa yang mungkin ditulisnya ketika Pushkin berada di bawah kendali dari kekuasaan.

Barangkali di tengah-tengah kobaran revolusi itu, bagi penganut paham realisme sosialis, perubahan sikapnya Pushkin itu dapat dimaafkan dan dimaklumi. Adakah sama halnya ketika Pram menyerang kubu Manikebu yang dicerca tak revolusioner itu? Bukankah para penandatangan Manikebu dalam Penjelasan Manifes Kebudayaan membedakan antara realisme sosialis yang ”merupakan kelanjutan pemikiran Stalin dan yang berangkat dari jalan pikiran Maxim Gorki. Dan, jalur realisme sosialis Gorki-lah yang ”menempuh politik sastra universal” yang segaris dengan arah pikiran Manikebu.

Terlepas dari realisme sosialis-kah ataupun humanisme universal-kah yang harus dijadikan rumus kesenian. Dengan merujuk pikiran Chernyshevsky, fungsi seni ialah untuk memproduksi kehidupan dan untuk melakukan penilaian atas gejala-gejalanya. Bahwa aliran-aliran kesenian pada dasarnya juga berfungsi untuk dan kembali pada masyarakat itu sendiri. Tidak ada satu pun konsep yang mutlak, apalagi tangan kekuasaan yang mencampuri kegiatan kreativitas seniman. Itu hanya membuat kesenian seperti kata benda, bukan kata kerja.

Prima Yulia nugraha

Sejarah sastra hingga kini masih dianggap tidak hadir secara komprehensif. Anggapan tersebut menitik beratkan pada para pengarang Lekra yang tidak masuk dalam horison sastra Indonesia. Padahal latar belakang sosial kemunculan Lekra jelas-jelas diakui eksistensinya pada masa pemerintahan orde lama. Sikap represif apapun dalam ranah politik, setidaknya tidak menjadi dalih untuk menghilangkan nama-nama sastrawan atau budayawan dari kubu yang tidak mendapat dukungan dari pemerintah pada saat penyusunan list sastrawan Indonesia.

Sejarah perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang berhaluan realisme-sosialis diidentikkan dengan perkembangan Lekra, secara otomatis para sastrawan yang termasuk di kubu tersebut. Setelah 1966, masa bergulirnya orde baru, ada peristiwa pembabatan, dan pembersihan orang-orang PKI beserta lembaga-lembaga yang terkait dengannya. Para sastrawan Lekra menjadi buruan pemerintah, karena dianggap sebagai kaum extremis, kelompok yang ingin melakukan makar terhadap pemerintah. Karya-karya sastra orang-orang Lekra dilarang berkibar di tanah Indonesia tanpa ada pertimbangan isinya, pembabatan dan pencekalan sepihak.

Dari kubu manikebu, sebagai diapoda Lekra tidak juga memberi pemaparan yang terang tentang geliat sastrawan-sastrawan Lekra. Mereka hanya mengangkat kekenesan dan kepahitan yang dialami kubu selain Lekra dengan nada balas dendam. Hal itu terbukti adanya penolakan dari orang-orang yang menandatangani Manifesto kebudayaan atas penghargaan Magsaysay yang diberikan kepada Pramodya Ananta Toer, yang pada masa kejayaan Lekra dianggap sebagai gembong dari golongan budayawan. Penolakan tersebut menguap karena adanya kebangkitan dendam kesumat atas pengekangan kreatifitas kubu manikebu pada masa pemerintahan orde lama.

*****

Perkembangan sejarah sastra tidak terlepas dari hegemoni pemerintah, yang menjadi kontrol sirkulasi produk karya sastra. Seratus tahun umur sastra Indonesia, 1908-2008, berdasarkan analisa Asep Sambdja yang meletakkan kariterianya dari bangkitnya organisasi yang “berjiwa” nasional, menampung kegelishan sastrawan dan budayawan melalui media yang dikuasai oleh pemilik modal. Pergeseran budaya sastra dari lisan ke tulisan menjadi titik tolak masuknya modernitas, dengan sendirinya mempengaruhi perkembangan sastra yang nota bene asalnya adalah tulisan.

“politik adalah panglima” sebagai prinsip Lekra di satu menginginkan adanya keterlibatan secara langsung antara seniman dan budayawan dalam perjuangan rakyat, dan di sisi lain “seni untuk seni” sebagai haluan Manikebu mengharapkan kesenian bersifat mandiri, tanpa adanya intimidasi atau tendensi apapun, dalam hal ini politik. Polemik tersebut mengakar hingga sekarang dalam bingkai yang berbeda yaitu perseteruan antara Teater Utan Kayu (TUK), sebagai tandemnya adalah Goenawan Muhammad dan komunitas Bumi Putera, yang dimotori oleh Saut Situmorang. Perselisihan tersebut tidak lagi bersifat intelek, tetapi lebih pada dendam masa lalu.

Dalam buku tersebut, penulis seakan terjebak dalam lingkaran setan, perseteruan tak final yang hanya menimbulkan kebencian, bukan sikap kompetitif lagi. Penulis juga menulis bukan tanpa tendensi, ia lebih menekankan karya-karya Lekra daripada mengunkap komparasi yang seimbang dengan data dan fakta yang relevan. Kemudian seperti diungkapkan oleh Martin Aleida, sebagai pembicara dalam bedah buku tersebut, bahwa di dalam kubu Lekra sendiri terdapat perseteruan. Lekra yang pro-PKI dan Lekra yang ingin independen, tanpa intimidasi politik PKI. Dari ungkapan Martin tersebut, bisa ditarik analisa bahwa polemik kebudayaan sebenarnya hanya tingkah politik yang mengatasnamakan kebudayaan sebagai topengnya.

Terlepas dari polemik “seni adalah panglima” dan “seni untuk seni” yang mengapungkan Lekra dan Manikebu sebagai aktor kolektif, sastra Indonesia memiliki kompleksitas multidimensional dan multikultural. Sastra Indonesia akan menemukan dirinya jika ada kejujuran atas orang-orang yang terlibat di dalamnya, dalam pengungkapan dan pemaparan sejarahnya, tanpa tedeng aling-aling. Biarkan sejarah bicara secara mandiri dan kebudayaan berekspresi dengan kreatifitasnya tanpa tendensi yang berujung pada kepentingan, karena kepentingan tak terlepas dari subjektifitas yang sifatnya relatif. *****

Oleh: M. Irvan ‘Ipanx’ Nawawi

dan bahwa nun di sana rakyat Tuan yang lebih dari
tiga puluh juta disiksa dan dihisap atas namamu? – Multatuli.
Kali pertama, feodalisme muncul di Eropa Barat pada abad pertengahan. feodal berasal dari bahasa latin, feodum, yang berarti penguasa kawasan atau penguasaan atas daerah. sistem tersebut punya hierarki, di tempat teratas ada seorang raja atau lord,lalu di posisisi selanjutnya ada pihak bangsawan, vassal, yang menguasai kawasan atau daerah tertentu. posisi paling bawah yaitu rakyat, para petani, yang hidupnya tunduk atas bangsawan, yang menjalin mitra dengan raja.
Namun, di zaman Hindia Belanda, seperti digambarkan Max Havelaar, pergantian feodalisme mengalami pergeseran makna. pengertian tersebut lebih mengarah ke konotasi yang negatif. bukan lagi urusan tuan tanah yang membawahi para pekerjanya, melainkan beralih ke bentuk penyifatan, misalnya, kolot, lalim, mengkultuskan raja, bermental budak. dengan kata lain, term feodal itu berubah mengikuti wadahya.
Di tanah jawa, feodalisme tumbuh subur, dan bagi pihak Belanda hal ini merupakan untung besar. betapa tidak, penjajah dapat terus melanggengkan kuasanya melalui koalisi, dengan pejabat Bumiputra. Rakyat digencet oleh dua penguasa sekaligus.Atau jangan-jangan lamanya kolonialisme berkuasa di Nusantara adalah akibat dari kuatnya feodalisme.
Meskipun belum lama menjabat sebagai asisten residen lebak, Havelaar pun cepat bertindak, ia seolah-olah menjadi pahlawan yang datang dari jauh untuk menyelamatkan rakyat Lebak dari kesewenang-wenagan bupati, Raden Adipati Karta Negara. Tetapi apa hasilnya? Gubernemen jendral dari Betawi mengacuhkan tuntutannya yang dituduhkan pada bupati Lebak itu, mengapa? sebabnya karena kejadian-kejadian yang dianggap biadap oleh Havelaar, pada masa itu meripakan suatu kewajaran. tidakkah Havelaar datang ke Lebak terlalu dini?
Jelas sekali digambarkan oleh cerita, bahwa masyarakat Jawa mempunyai sifat yang pemurah. mereka tak segan-segan memberikan kerbau, kuda, anak gadisnaya, atau bahkan istrinya apabila bupati atau raja yang meminta. Artinya, segala kepunyaan mereka adalah milik raja. Hal demikian juga diceritakan oleh residen, yang dulu penah tinggal di Hinida Belanda kepada Droogstopel. Ia mengatakan bahwa masyarakat begitu baik menerimanya, hingga ada seratus orang yang mau memelihara taman perkarangannya tanpa meminta bayaran. Lanjutnya, kata dia, “mereka bekerja hanya karena kasih sayang.”
Apa mau dikata lagi, toh masyarakat jawa tempo dulu memang demikian adanya, budayanya, dan menjadi rutinitas keseharian. Bukankah pihak Belanda pun, ” lebih suka memecat sepuluh residen dari seorang bupati.” Pendek kata, kehilangan seorang bupati sama halnya dengan kehilangan seribu, dua ribu, atau seratus ribu masyarakat. Karena segala petuah bupati menjadi mantera yang dapat menggerakkan masyarakat untuk berbuat, terutama sesuai dengan kehendaknya.
Dari sini, sebenarnaya saya masih merasa sangsi terhadap sekarung karangan yang ditulis oleh Sjaalman yang kemudian diberikan kepada Droogstopel. Kemungkinan besar, karangan-karangannya mengenai Hindia Belanda yang menurutnya peruntungannya kurang baik itu hanya sekedar omong kosong belaka. Bukankah ia menulisnya ketika ia sudah dipecat menjadi residen Lebak. Selain itu, seorang residen yang bertemu dengan Droogstopel juga  menyebutkan bahwa Sjaalman adalah orang yang lakunya tidak begitu baik. ” Ia diusir sebab si Sjjalman itu seorang yang tidak pernah merasa puas dan selalu mengkritik saja kerjanna, lagi pula kelakuannya sendiri banyak yang tidak beres.”
Terakhir, ucapan Havelaar yang saya kutip di atas ditunjukan untuk ratunya di Belanda. Tapi jika dicermati maksudnya, ia mengutuk feodalisme atas nama kemanusiaan, namun tetap melanggengkan kolonialisme.

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can alway preview any post or edit you before you share it to the world.